Informasi teknologi smartphone tips android dan info menarik

Sejarah dan prestasi Tim Nasional Indonesia

Sejarah dan prestasi Tim Nasional Indonesia
Sejarah dan prestasi Tim Nasional Indonesia - Perjalanan Tim nasional Indonesia tidaklah mudah dan singkat.  Meski kini Tim negeri ini terpuruk, Namun ternyata dimasa lampau Tim ini memiliki banyak prestasi international mulai dari Ikut serta dalam Piala Dunia (meski masih dibawah bendera Hindia belanda), dan berbagai gelar juara lainya. Bagai mana sejarah panjang itu dimulai? berikut sedikit ulasan mengenai Tim NAsional kebanggaan kita ini :
Berrdirinya PSSI
Pada tahun 1930-an, di Indonesia berdiri tiga organisasi sepak bola berdasarkan suku bangsa, yaitu Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB) yang lalu berganti nama menjadi Nederlandsch Indische Voetbal Unie (NIVU) pada tahun 1936 milik bangsa Belanda, Hwa Nan Voetbal Bond (HNVB) milik seseorang yang berketurunan Tionghoa, dan Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia milik bumiputra. Nederlandsch Indische Voetbal Bond(NIVB) sebuah organisasi sepak bola orang-orang Belanda di Hindia Belandamenaruh hormat kepada PSSI lantaran SIVB yang memakai bintang-bintang dari NIVB kalah dengan skor 2-1 melawan VIJ.

NIVU yang semula memandang sebelah mata PSSI akhirnya mengajak bekerjasama. Kerjasama tersebut ditandai dengan penandatangananGentlemen’s Agreement pada 15 Januari 1937. Pascapersetujuan perjanjian ini, berarti secara de facto dan de jure Belanda mengakui PSSI. Perjanjian itu juga menegaskan bahwa PSSI dan NIVU menjadi pucuk organisasi sepak boladi Hindia Belanda. Salah satu butir di dalam perjanjian itu juga berisi soal tim untuk dikirim ke Piala Dunia, dimana dilakukan pertandingan antara tim bentukan NIVU melawan tim bentukan PSSI sebelum diberangkatkan ke Piala Dunia (semacam seleksi tim). Tapi NIVU melanggar perjanjian dan memberangkatkan tim bentukannya. NIVU melakukan hal tersebut karena tak mau kehilangan muka, sebab PSSI pada masa itu memiliki tim yang kuat. Dalam pertandingan internasional, PSSI membuktikannya. Pada 7 Agustus1937 tim yang beranggotakan, di antaranya Maladi, Djawad, Moestaram,Sardjan, berhasil menahan imbang 2-2 tim Nan Hwa dari Cina di Gelanggang Union, Semarang. Padahal Nan Hwa pernah menyikat kesebelasan Belandadengan skor 4-0. Dari sini kedigdayaan tim PSSI mulai kesohor.

Atas tindakan sepihak dari NIVU ini, Soeratin Sosrosoegondo, ketua PSSI yang juga aktivis gerakan nasionalismeIndonesia,sangat geram. Ia menolak memakai nama NIVU. Alasannnya, kalau NIVU diberikan hak, maka komposisi materi pemain akan dipenuhi orang-orang Belanda. Tapi FIFA mengakui NIVU sebagai perwakilan dari Hindia Belanda. AkhirnyaPSSI membatalkan secara sepihak perjanjian Gentlemen’s Agreement saat Kongres di Solo pada 1938.

Maka sejarah mencatat mereka yang berangkat ke Piala Dunia Perancis 1938 mayoritas orang Belanda. Mereka yang terpilih untuk berlaga di Perancis, yaitu Bing Mo Heng (kiper), Herman Zommers, Franz Meeng, Isaac Pattiwael, Frans Pede Hukom, Hans Taihattu, Pan Hong Tjien, Jack Sammuels, Suwarte Soedermadji, Anwar Sutan, dan Achmad Nawir (kapten). Mereka diasuh oleh pelatih sekaligus ketua NIVU, Johannes Mastenbroek. Mo Heng, Nawir, Soedarmadji adalah pemain-pemain pribumi yang berhasil memperkuat kesebelasan Hindia Belanda, tetapi bertanding di bawah bendera kerajaan Nederland. 

Negara pertama yang mewakili Asia di Piala Dunia 1938
Sejarah dan prestasi Tim Nasional Indonesia
Timnas saat Piala Dunia 1938
Pada 5 Juni 1938, sejarah mencatat pembantaian tim Hungaria terhadap Hindia Belanda. Mereka bermain di Stadion Velodrome Municipale, Reims, Perancis. Sekitar 10.000 penonton hadir menyaksikan pertandingan ini. Sebelum bertanding, para pemain mendengarkan lagu kebangsaan masing-masing. Kesebelasan Hindia Belanda mendengarkan lagu kebangsaan Belanda Het Wilhelmus. Karena perbedaan tinggi tubuh yang begitu mencolok, walikota Reims menyebutnya, "saya seperti melihat 22 atlet Hungaria dikerubungi oleh 11 kurcaci."

Meski strategi tak bisa dibilang buruk, tapi Tim Hindia Belanda tak dapat berbuat banyak. Pada menit ke-13, jala di gawang Mo Heng bergetar oleh tembakan penyerang Hongaria Vilmos Kohut. Lalu hujan gol berlangsung di menit ke-15, 28, dan 35. Babak pertama berakhir 4-0. Nasib Tim Hindia Belanda tamat pada babak kedua, dengan skor akhir 0-6. Pada saat itu Piala Dunia memakai sistem gugur.

Meskipun kalah telak, surat kabar dalam negeri, Sin Po, memberikan apresiasinya pada terbitan mereka, edisi 7 Juni 1938 dengan menampilkan headline: "Indonesia-Hongarije 0-6, Kalah Sasoedahnja Kasi Perlawanan Gagah".

Setelah penampilan perdana itu, Indonesia tidak pernah lagi masuk babak pertama Piala Dunia FIFA, dengan hasil paling memuaskan adalah Sub Grup III Kualifikasi Piala Dunia FIFA 1986. Ketika itu Indonesia hampir lolos ke Piala Dunia 1986 tetapi Indonesia kalah di partai final kualifikasi melawan Korea Selatan dengan agregat 1-6.

Tampil di Olimpiade Melbourne, Australia 1956
Sejarah dan prestasi Tim Nasional Indonesia
Timnas di Olimpiade 1956
Setelah era Perang Dunia kedua, pada tahun 1945, Indonesia memproklamasikan kemerdekaan mereka pada tanggal 17 Agustus 1945.
Salah satu penampilan terbaik Timnas Indonesia adalah penampilannya tahun 1956. Bukan saja Timnas yang diperkuat Andi Ramang asal Makassar bisa lolos Olimpiade, tapi pada Olimpiade Melbourne tahun 1956, Timnas berhasil menahan tim kuat yang akhirnya juara, Uni Soviet 0-0 pada pertandingan pertama. Tim merah putih yang diperkuat Maulwi Saelan, Ramang, Djamiat Dalhar, LH Tanoto, Kiat Sek, Ramlan berhasil menahan Uni Soviet dalam 2 X 45 menit bahkan sampai perpanjangan 2 X 15 menit. Ketika itu, jika pertandingan berakhir seri maka harus dilakukan pertandingan ulang, yang dilakukan 3 hari kemudian dan PSSI kalah terhormat 0-4. Uni Soviet akhirnya meraih medali emas Olimpiade Melboune 1956.

Pra Piala Dunia Swedia 1958
Setelah tampil di Piala Dunia 1938 Prancis, Tim nasional Indonesia berpeluang besar mengulangi capaian serupa di Piala Dunia Swedia 1958.  Indonesia bahkan tinggal selangkah lagi lolos karena hanya menyisakan satu partai penentuan zona Asia. Lawan yang dihadapi pun hanya tim lemah Israel. Namun karena sang lawan itu pula Indonesia memilih tidak lolos. Timnas memilih tidak tampil di piala dunia ketimbang berada satu lapangan dengan tim Israel. 

Keputusan ini juga tidak terlepas sikap tegas Presiden Soekarno yang dikenal sangat anti-Israel. Tidak hanya Indonesia, sejumlah Negara lain yang diberi kesempatan oleh FIFA menggantikan Indonesia juga menolak tampil. Tercatat Sudan dan Turki menolak untuk bertanding dengan Israel. Belgia pun menyatakan hal serupa. 

Di saat FIFA kebingungan mencari lawan yang bersedia tampil dengan Israel, tim papan bawah Eropa, Wales pun menyatakan kesediaannya. Melawan tim papan bawah Eropa ternyata tidak juga memberi keuntungan bagi Israel. 

Wales sukses mempermalukan Israel lewat kemenangan kandang-tandang dengan skor masing-masing 2-0. Alhasil Wales pun lolos ke piala dunia Swedia 1958.

Pra Olimpiade 1976 di Stadion Gelora Bung Karno
Stadion Gelora Bung Karno Senayan juga pernah dibanjiri lebih dari 120 ribu penonton (saat ini kapasitasnya tinggal 88 ribu orang) ketika Timnas melawan tim nasional Korea Utara tahun 1976 untuk merebut tempat di Olimpiade Montreal, Kanada. Tim merah putih saat itu dilatih Wiel Coerver dari Belanda dan Timnas antara lain diperkuat kiper legendaris Ronny Pasla, libero terkenal Ronny Pattinasarany, Iswadi Idris, Risdianto, Suaeb Rizal, Junaedi Abdillah, Nobon dan Anjas Asmara.

Pada pertandingan waktu normal dan perpanjangan waktu PSSI berhasil menahan Korea Utara kaca mata alias 0-0. Prestasi yang menunjukkan bahwa Timnas Indonesia cukup tangguh. Karena dua kali 45 menit dan dalam perpanjangan dua kali 15 menit tidak ada yang menang, terpaksa dilakukan adu pinalti. Dalam adu penalti ini Korut lebih berntung karena Anjas Asmara dan Suaeb Rizal gagal menjaringkan bola ke gawang Korut sehingga Timnas gagal ikut Olimpiade Montreal yang tinggal selangkah lagi itu.

Tanggal 19 April 1974 Risdianto dkk juga pernah mengalahkan tim kuat Uruguay ketika datang ke Indonesia dengan skor 2-1 walaupun pada pertandingan kedua tanggal 21 April 1974 PSSI kalah 2-3. Namun, permainan Timnas Indonesia dalam dua pertandingan itu dianggap masyarakat memuaskan.

Semifinal Asian Games Korea, 1986 dan Juara SEA Games 1987 Jakarta
Tahun 1980an PSSI Garuda dipimpin oleh Sigit Harjojudanto yang mengirim para pemain untuk berlatih ke Brazil. Hasilnya antara lain PSSI Garuda menjadi Runner-up Kings Cup di Thailand. Pemain jebolan PSSI Garuda antara lain Patar Tambunan, Marzuki Nyak Mad, Azhari Rangkuti bersama pemain lain seperti Ricky Jacob, Bambang Nurdiansyah, Herry Kiswanto, Zulkarnen Lubis (dijuluki Maradonanya Indonesia), Elly Idris, Rully Nere, Jaya Hartono dan pemain perserikatan seperi Robby Darwis, Ribut Waidi dan Ponirin Mekka menjadi tulang punggung Timnas. PSSI menjadi juara subgrub 3 B Pra Piala Dunia Mexico, namun sayangnya langkah PSSI kemudian dihentikan oleh Korea Selatan. PSSI kemudian berhasil tampil sebagai semi finalis Asian Games 1986, di Korea. PSSI Garuda itu juga berhasil menorehkan prestasi legendaris yaitu Juara SEA Games pada tahun 1987 di Jakarta, saat Ribut Waidi menciptakan gol emas pada pertandingan final.

Juara SEA Games Manila, 1991
Sejarah dan prestasi Tim Nasional Indonesia
Era kejayaan PSSI juga sempat berlangsung hingga tahun 1991 ketika kembali PSSI meraih medali emas SEA Games, kali ini di luar negeri, Manila, Philippines. Latihan keras ala militer yang diterapkan oleh pelatih asal Rusia Anatoly Polosin dan Vladimir Urin berbuah emas untuk dipersembahkan kepada rakyat Indonesia. Kedua medali emas SEA Games Indonesia terjadi pada era kepemimpinan Kardono (mantan Sekmil Presiden Soeharto). Kapten Timnas saat itu adalah Ferril Raymond Hattu, putra Saparua kelahiran Surabaya 9 Agustus 1962.

Melawan Feyenoord

saat mengalami masa kejayaannya, hubungan timnas Indonesia dengan Belanda tidak sebersahabat seperti saat ini. Soekarno sering mengutarakan retorika yang menguatkan kebencian kepada Belanda.

Terkadang sepakbola menjadi pelampiasan kebencian itu. Jika tahu hanya gara-gara urusan jersey saja timnas mengalah kepada Belanda, Soekarno mungkin akan marah betul. Wajar saja, kala itu stereotype bangsa yang pandir dan inlander goblok ingin berusaha dikikis oleh Soekarno melalui sepakbola.

"Kau Gareng, lawan si Belanda itu. Dan Tunjukkan bahwa bangsa Indonesia itu bangsa yang besar. Tunjukkan bahwa kita bukan bangsa tempe!" - Bung Karno kepada kapten timnas, Soetjipto 'Gareng' Soentoro, di Istana Negara, pada suatu hari di tahun 1965.
"Bayangkan Bung, para pejuang kemerdekaan itu berjuang mempertaruhkan darah dan nyawa, kita cuma keringat dan air mata," - Gareng kepada teman-temannya menanggapi kata-kata Soekarno [dari buku Cardiyan HS. berjudul 'Gareng Menggiring Bola'.]

Adegan di atas terjadi saat seluruh anggota timnas diajak Maulwi Saelan menemui Bung Karno sesaat sebelum mereka terbang ke Eropa. Kepergian mereka guna lawatan ujicoba melawan tim-tim kuat Eropa sebagai persiapan menghadapai Ganefo dan Asian Games tahun 1966.

Selama berbulan-bulan, timnas berkeliling ke berbagai negara Eropa. Negeri yang pertama dikunjungi adalah bekas penjajah kita yaitu Belanda. Hari Rabu 9 Juni 1965, timnas harus berjibaku dengan juara Liga Belanda musim kompetisi 1964/1965, Feyenoord.

Saat menghadapi Indonesia, Feyenoord tahu betul siapa lawan yang mereka hadapi. Malu rasanya kalah dari negeri bekas jajahan. Karenanya tak tanggung-tanggung, Feyenoord menurunkan semua pemain intinya. Sayangnya, Belanda tetap sombong. Dipimpin oleh sang kapten Guus Haak -- meluruskan informasi yang banyak beredar kalau saat itu kaptennya adalah Guus Hiddink --, Feyenoord tak bermain serius di awal babak pertama.

Intruksi Bung Karno untuk menghajar Belanda dilakukan betul oleh para pemain kita. Para pemain bermain kesetanan. Baru dua menit pertandingan berjalan 'Si Gareng' berhasil mencetak gol cantik dengan melewati tiga bek Feyenoord sekaligus. Londo itu terkaget. Tak ayal Indonesia pun digempur habis-habisan di babak pertama. Performa ciamik Yudo Hadianto yang mengawal gawang timnas berhasil membuat sor 1-0 dapat dipertahankan hingga akhir babak pertama.

Sayangnya, di babak dua Indonesia dijahili habis-habisan oleh wasit. Dua gol penalti di awal babak kedua membuat mereka down. Tak ayal, dalam waktu beberapa menit, Yudo terpaksa memungut bola di gawangnya sebanyak empat kali. Alhasil selama 90 menit waktu berjalan, timnas kebobolan 6 gol, yang membuat pertandingan berkesudahan 6-1 bagi Londo-londo itu. (Majalah Aneka edisi Juli 1965)

Tak terima, kekalahan ini bagi Gareng lebih disebabkan faktor wasit yang berat sebelah akibat adanya tekanan unsur politis. Dua hukuman penalti bagi Indonesia adalah buktinya. "Dua kali pelanggaran tak berbahaya, dua kali dihukum penalti. Ini kemenangan politik yang dipaksakan," keluhnya.

Unsur politik memang terasa betul di pertandingan tersebut. Konflik antara pemerintah Belanda dan Indonesia merembet hingga sepakbola. Belum lepas ingatan orang akan perebutan Irian Barat. Tahun 1960-1963, saat itu dua negara harus rebutan pemain sepakbola yaitu pemain Irian Barat yang bernama Dominggus.

Dominggus mampu mencuri hati publik sepakbola Belanda. Saat melawan Feyenoord, decak kagum penonton diberikan kepada pemain yang berposisi sebagai winger ini. Akan tetapi, kekalutan tim terjadi sesudah laga itu. Dominggus tak pulang ke hotel, banyak orang menyangka dia diculik. Intelejen pun mulai dipekerjakan untuk mencari Dominggus.

Pencarian Dominggus diserahkan kepada kedutaan besar, karena tim harus bertolak ke Jerman Barat, Dominggus pun ditinggal. "ia sekamar dengan saya waktu di Belanda. Dia pergi malam-malam dan tak pernah kembali. Tasnya pun ditinggal di hotel," kata Max Timisela rekan satu tim Dominggus, dalam interview dengan Pandit Football beberapa waktu lalu.

Beberapa hari kemudian, berita mengejutkan datang kepada tim yang ada di Bremen. Dominggus inyatakan membelot, menolak pulang ke Indonesia. Dia ditawari oleh pelatihnya yang orang Belanda untuk tinggal dan menjadi warga negara Belanda. Diiming-imingi oleh janji setinggi langit dari pemerintah Belanda, Dominggus memilih melupakan Indonesia.

Kejadian ini membuat kekesalan terjadi di Jakarta. Demonstrasi besar-besaran terjadi kepada pemerintah Belanda akibat aksinya yang membuat Dominggus membelot. Belum lama luka atas Irian Barat, Belanda kembali menuai genderang perang melalui sepakbola. Soekarno pun geram dan melayangkan surat prote, mengecam kerajaan Belanda. Tapi respons yang didapat ya begitu saja: Belanda hanya mangut-mangut. Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri.

Saat bertemu Gareng di tahun 1978, Dominggus ternyata tak jadi pesepakbola ternama. Ia hanya diperkerjakan sebagai buruh di perusahaan Phillips. Tapi beruntung, Dominggus mendapatkan istri wanita Belanda. Kala itu dia sudah memiliki tiga anak. Kepada Gareng ia pun bangga dengan keputusannya kala itu. Karena Belanda, pemain sayap ini enggan balik lagi ke tanah air.

Soekarno tahu betul bahwa suatu bangsa bisa naik harkat derajatnya dengan olahraga. Karenanya ia menanamkan paham betul-betul itu di dalam dada semua pemain,yaitu semangat kebangsaan. Ia tegaskan bahwa berjuang lewat olahraga adalah suatu hal yang tak kalah hebatnya dengan berjuang menenteng senjata. Karenanya ia kesal melihat tingkah Belanda yang belagu kala itu.

"Bahwa kami bukanlah lagi penduduk kelas kambing yang berjalan menyuruk-nyuruk dengan memakai sarung dan ikat-kepala, merangkak-rangkak seperti yang dikehendaki oleh majikan-majikan kolonial di masa yang silam," 

Semangatnya itu membuat para pemain tampil habis-habisan di setiap laganya. Tak hanya saat di Belanda. Di Jerman, Yugoslavia dan Cekoslovakia pun timnas tampil cukup memuaskan. Selain pengalaman, fisik dan ilmu yang didapat. Pemain pun berhasil mengenalkan Indonesia ke masyarakat Eropa melalui "sepakbola". Semangat mau berkorban, mau berjuang dan mau bersabar tak bisa dibebankan kepada pemain saja. Seluruh elemen baik itu penguasa yang berkuasa, pengurus PSSI, bahkan suporter sendiri harus memiliki etos tersebut.

Apakah hasil yang didapat setelah pulang dari Eropa zaman itu? Hasilnya cukup lumayan. Selama kurun beberapa tahun Indonesia kembali disegani di Asia. Tercatat Indonesia menjadi semifinalis Asian Games 1966, Juara Aga Khan Goldcup 1966 dan 1968, Juara Merdeka Games 1969 dan Juara Kings Cup 1968. Di masanya kejuaraan-kejuaraan itu adalah turnamen bergengsi yang selalu diikuti negara-negara kuat Asia.


Prestasi Lainnya
Timnas Indonesia pernah sebagai juara Piala Asia Yunior 1961 dan 1962, juara Pelajar Asia 1984, 1985, 1986, juara Coca Cola Cup Group VII Zone Asia 1986. Indonesia juga pernah juara Turnamen Merdeka Games 1960, 1961, 1962 Kuala Lumpur, juara Turnamen Aga Khan Gold Cup 1961, 1967, 1968, 1979 Dhaka, Bangladesh, juara King’s Cup 1969 di Bangkok, juara Turnamen Queen’s Cup Bangkok 1971, Juara Turnamen Jakarta Anniversary Cup 1972, juara Turnamen Quoc Khanh (Piala Kemerdekaan) 1973, Saigon, juara Sea Games 1981 Manila, juara Pesta Sukan Brunei Darussalam 1986, juara Turnamen Piala Kemerdekaan 1987, Jakarta, dan juara Sepakbola SEA Games 1987, Jakarta.

Timnas Indonesia juga pernah mencatat kemenangan besar (12-0) atas Filipina pada 22 September 1972 di Seoul Korea Selatan. Juga menang (13-1) atas Filipina di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, 23 Desember 2002. Tetapi situasinya sekarang sudah berubah. Filipina berada di peringkat 150 FIFA, lebih baik dari Indonesia (peringkat 159 FIFA).

Pelatih-pelatih hebat timnas Indonesia yang mengharumkan Merah Putih juga harus diberi apresiasi. Mulai dari Antun ‘Toni’ Pogacnik, E.A. Mangindaan, Wiel Coerver, Endang Witarsa, Djamiat Dahlar, Sinyo Aliandoe, Bertje Matulapelwa, Anatoly Polosin, dan seterusnya.

Itulah sedikit goresan tentang Sejarah dan prestasi Tim Nasional Indonesia dari waktu ke waktu. Apakah prestasi tersebut akan terulang kembali? mengingat tim muda U-19 kita yang kini menuai banyak Prestasi yang membanggakan. Harapan kita semoga Timnas U-19 Mampu mengulang kejayaan Indonesia dimasa mendatang. 

Sejarah dan prestasi Tim Nasional Indonesia Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown